“Keinginanmu untuk melulu ibadah padahal Allah masih menempatkanmu pada golongan orang yang harus berusaha untuk mendapatkan kebutuhan sehari, maka keinginanmu itu termasuk syahwat hawa nafsu yang halus. Dan keinginanmu untuk berusaha, padahal Allah menempatkanmu pada golongan orang yang melulu ibadah, maka keinginanmu itu berarti turun dari semangat dan cita-cita yang tinggi”.

Hikmah yang kedua ini menggambarkan betapa halusnya syahwat nafsu. Bagi kita yang hanya melihat secara sepintas tentu akan mengatakan bahwa nafsu untuk melulu ibadah kepada Allah adalah nafsu yang baik. Pendapat yang demikian memang bisa diakui.

Tetapi dalam hikmah ke 2 tersebut syech Ibnu Athaillah melihat lebih dalam bahwa apabila kita berkeinginan untuk melulu ibadah padahal ada tanggung jawab kita yang lain yang lebih hakiki atau berkeinginan untuk mencapai derajat yang tinggi dibidang agama dengan mengesampingkan kewajiban yang lebih hakiki maka hal itu sudah termasuk syahwat nafsu. Contoh sederhana dari tanggung jawab dan kewajiban yang hakiki dibanding melulu ibadah seperti mencari nafkah untuk anak isteri. Ada diantara manusia ada yang berkhalwat dan melakukan uzlah, meninggalkan anak dan isteri demi mencapai derajat yang tinggi. Masih bisa diperdebatkan apakah motivasinya adalah untuk mencapai derajat yang tinggi dan mencari cinta ilahi atau hanya nafsu ingin dipandang manusia sebagai seorang yang memiliki derajat yang tinggi dibidang agama.
Sebaliknya, ada golongan manusia yang sebenarnya didudukkan Allah SWT sebagai orang-orang yang semestinya hanya beribadah kepada Allah namun kemudian ingin ikut berkecimpung dalam urusan dunia. Oleh syech Athaillah, kelompok ini dikatakan turun dari semangat atau cita-cita yang tinggi atau dengan kata lain justru memilih turun dari derajat yang tinggi karena terpengaruh kehidupan dunia.
Dengan melihat kepada hikmah ke 2 Al Hikam tersebut dapat disimpulkan ada 2 golongan manusia. Pertama, manusia yang didudukkan Allah ke dalam golongan ahli kasab (berusaha, bekerja untuk rezeki dan kehidupan dunianya sambil tak lupa beribadah kepada Allah). Golongan kedua adalah ahli tajrid (melulu beribadah, namun dimudahkan Allah dalam soal rezeki dan urusan dunianya). Apabila manusia diantara ke dua golongan tersebut mencoba berpindah ke golongan yang bukan golongannya, misal dari ahli kasab ingin menjadi ahli tajrid atau sebaliknya dari ahli tajrid menjadi ahli kasab maka disitu sudah ditemukan nafsu syahwat meskipun dalam takaran yang sangat halus.
Lalu bagaimana cara mengetahui dimana kedudukan kita apakah termasuk ahli kasab atau ahli tajrid ? untuk menjawab ini tentu dengan mengukur kemudahan di kedua kelompok tersebut. Ukurannya adalah, apabila saat ini kita merasa bahwa rezeki dan urusan dunia kita berjalan dengan baik namun akan terganggu apabila kita mengalokasikan waktu lebih banyak untuk beribadat maka kita termasuk dalam ahli kasab, yaitu kelompok orang yang memang harus berikhtiar secara duniawi. Yang penting tetap beribadat dengan baik karena Tuhan tidak pernah membebani dengan sesuatu yang melebihi kemampuan kita.
Tetapi apabila rezeki dan urusan dunia kita berjalan dan berkembang dan semakin berkembang ketika kita menghabiskan waktu secara total untuk ibadah dan justru berkurang ketika kita mengurangi ibadah, maka artinya kita didudukkan Allah pada ahli tajrid (melulu beribadah). Kelompok tajrid ini memang dijamin Allah rezeki dan urusan dunianya.
Dalam bahasa yang lebih singkat lagi, apabila kehidupan dunia kita berjalan dengan mudah ketika kita berusaha sambil beribadah maka kita berada dalam golongan ahli kasab. Namun apabila dengan melulu beribadah kita justru mendapat kemudahan hidup di dunia maka berarti kita berada di golongan ahli tajrid.